i frame

halaman terkait

Banner promosi sangtorayan,klik untuk meengunjungi,hubungi admin@Sangtorayan>untuk pemasangan iklan anda

sponsor :

Kuburan bayi Toraya "Kambira"



Kuburan bayi ini disebut Passiliran, Lokasi Pekuburan Bayi ini  berada di Kambira sala satu perkampungan sekitar sangalla' Tana Toraja. Hanya Bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh yang dikuburkan di dalam sebuah lubang di pohon . Bayi bayai tersebut dianggap masih suci. Pilihan Pohon Tarra‘ sebagai pekuburan karena pohon ini memiliki banyak getah, yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dan mereka menganggap seakan akan bayi tersebut dikembalikan ke rahim ibunya. Dan berharap, pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian.

Kuburan Bayi, " KAMBIRA'/sangalla' "


Ada yang sudah tahu tentang pohon Tarra? Pohon satu ini merupakan salah satu pohon yang mempunyai banyak getah putih. Ada banyak fakta yang perlu Anda tahu dari pohon yang jadi rumah baru bayi-bayi yang tak sempat hidup dengan orangtuanya di Tana Toraja.
Makam Bayi pohon Tarra ini tumbuh sejak ratusan tahun lalu!
Usia dari pohon Tarra ini serupa dengan usia dari adat Passiliran yang telah dilakukan oleh nenek moyang yang memiliki kepercayaan Aluk Todolo ratusan tahun lalu.
Uniknya, Tarra hanya kebanyakan tumbuh serta dapat ditemukan di Desa Kambira, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Pohon tua ini terletak di antara rimbunnya pohon bambu serta tanaman liar lain. Karena langka maka tak heran lokasi pohon tersebut dijadikan tempat wisata, yaitu Passiliran: Kambira Baby Graves.

selain Keunikan lain dari Tarra yaitu  getah yang putih dianggap sebagai air susu, sementara batangnya disebut sebagai rahim untuk bayi.
Masyarakat Kambira pun meyakini bayi sebagai makhluk suci, maka dengan menyemayamkan bayi dalam pohon tersebut sama seperti menyelamatkan generasi selanjutnya.
Jadi bayi yang meninggal pada sebuah keluarga, dan dimakamkan dalam pohon itu, maka mampu mencegah kematian pada bayi lainnya.

Yang anehnya lagi, pohon besar yang telah dipenuhi jasad bayi itu tak pernah mengeluarkan aroma bau busuk seperti lokasi lain yang terdapat banyak jasad dan pada area terbuka.
Mau sebanyak apapun penduduk memenuhi batangnya dengan jenazah bayi, aroma apapun tak akan keluar. Hal itu dipercaya oleh masyarakat akibat Tarra sebagai wujud yang menghidupi.
Seluruh bayi yang masuk pada “rahim” pohon Tarra dapat menyatu sendiri dengan bantuan getah pohon. Oleh sebab itu, setelah 20 tahun, pohon bisa mulus kembali, bahkan ditempati oleh bayi lainnya.

Ternyata bukan hanya pohonnya saja yang unik, proses penguburan bayi dalam pohon Tarra pun termasuk adat yang tidak boleh sembarangan dilakukan.
Hanya bayi yang belum mencapai usia 6 bulan serta belum tumbuh gigi saja, yang berhak masuk dalam pohon Tarra. Nantinya, Tarra dilubangi sesuai ukuran badan bayi, kemudian bayi akan dimasukkan ke dalam lubang itu tanpa pakaian seperti layaknya dalam rahim.
Lalu lubang ditutup pakai sabut ijuk atau enau. Selain itu, bayi-bayi ditempatkan menghadap ke rumah duka, sebagai wujud penghormatan pada keluarga.
Adatnya sedetail itu, sampai strata sosial pun memengaruhi tinggi rendahnya posisi sang bayi disemayamkan. Semakin ditempatkan di atas pohon, maka semakin tinggi pula status sosial si bayi.
Untuk masyarakat Tana Toraja, pemakaman merupakan sesuatu hal yang sakral dalam masa akhir kehidupan seseorang. Jadi tidak heran ada banyak adat yang dilakukan untuk mengantar mereka yang telah tiada ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Pohon Tarra‘ yang menjadi pekuburan ini memiliki diameter cukup besar, sekitar 80 – 100 cm sampai 300 cm. Dibuat Lubang pada pohon untuk menguburkan bayi , yang kemudian ditutup dengan ijuk pohon enau. Pemakaman ini hanya dilakukan oleh orang Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur). Pelaksanaan Upacara secara sederhana. Dan Bayi yang dikuburkan begitu saja tanpa di bungkus, ibarat bayi yang masih berada di rahim ibunya.

Penempatan jenazah bayi di pohon ini, sesuai dengan strata sosial masyarakat. Makin tinggi derajat sosial keluarga itu maka makin tinggi letak bayi yang dikuburkan di batang pohon tarra.
Bayi yang meninggal dunia diletakkan sesuai arah tempat tinggal keluarga yang berduka. .Setelah puluhan tahun, jenazah bayi itu akan menyatu dengan pohon dan kini telah menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan yang datang ke Toraja.
(sp)

Salama' Sangtorayan

Tarian kematian "BADONG TORAYA"

 Ma’badong adalah tarian asal Tana Toraja yang hanya bisa dilakukan saat ada kematian. Ma’badong dilakukan dengan maksud mendoakan orang yang meninggal agar arwahnya diterima di alam baka. Ma’badong juga berisi ratapan-ratapan kesedihan dan kenangan hidup sang mendiang selama hidupnya di dunia ini. Diungkapkan dalam syair-syair berbahasa Toraja, dengan bentuk nyanyian tanpa iringan alat musik. Para pa’badong (peserta tarian) dipimpin oleh seorang pemimpin yang menguasai syair-syair badong dan lihai dalam menyanyikannya. Nyanyian badong terdiri atas empat jenis yang dinyanyikan secara berurut sesuai dengan fungsinya, yaitu badong nasihat, badong ratapan, badong berarak, dan badong selamat (berkat).

To Ma'Badong

Beberapa contoh syair tarian badong antara lain: ‘Ke de’ ko anta umbating (Mari kita menguraikan kesedihan hati)’,‘Madarinding sola nasang (Kita sekalian bersentosa)’, ‘Ambe’ tandin talingakan, (Ya bapa sendengkanlah telingamu kepada kami)’, ‘’Tonna masaki ulunna, Tikuramman beluakna (Pada waktu kepalanya sakit, semua rambutnya merasakannya), dll..
Ma’badong dilakukan minimal tiga orang hingga jumlah yang tak ditentukan bisa mencapai ratusan orang dan dilakukan di lapangan terbuka. Peserta terdiri atas laki-laki dan perempuan dewasa. Pakaiannya biasanya menggunakan pakaian hitam dan sarung yang juga berwarna hitam. Bisa juga menggunakan pakaian adat Toraja, tetapi bagi pengunjung kedukaan yang tidak berpakaian seperti itu bisa juga ikut bergabung menari. Ma’badong minimal dimulai dengan tiga atau lima orang yang menyanyikan badong pembuka berisi ajakan untuk turut Ma’badong. Seiring dengan waktu maka peserta badong akan semakin banyak membentuk lingkaran besar.
Ma’ badong dapat dilakukan kapan saja tetapi lebih sering dilakukan pada sore dan malam hari. Dapat dilakukan di sekitar rumah ataupun di tempat pemakaman, saat pemakaman akan dilakukan.
Sekarang, seiring dengan perkembangan zaman Ma’badong sudah mulai tak diminati khususnya para generasi muda. Karena itu untuk mempertahankannya di beberapa tempat dibentuklah kelompok Pa’badong yang di undang Ma’badong setiap ada kedukaan. Tetapi motivasi pelaksanaan sudah mulai bergeser ke motif ekonomi, bukan lagi murni mengungkapkan kesedihan dan doa untuk saling menghibur sebagaimana tujuan awal dari tarian ini. Namun, bagi masyarakat Toraja yang di perantauan biasanya badong dilakukan secara tanpa motivasi apa pun. Berbeda dengan di Tana Toraja di mana Badong itu lahir, Badong seolah telah mengalami pergeseran dari tujuan semula. Para Pa’badong selain dijamin dengan makanan, minuman, dan rokoknya mereka juga biasanya meminta diberi imbalan uang, babi, atau kerbau.
Semoga tarian kematian Ma’badong dari Toraja tetap lestari karena pemerintah khususnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif turut berpartisipasi melestarikannya. Dan pariwisata Toraja kembali berdenyut sebagaimana yang terjadi di era tahun delapan puluhan. Toraja menjadi tujuan wisata budaya yang banyak dikunjungi tapi kini redup seolah mati suri. Berharap Indonesia Traveljugaaktif meneropongnya agar mata wisatawan tertuju ke sana. Salama'

ALUKTA TODOLO


Alukta/Aluk Toraya atau lebih lasim disebut masyarakat Toraja Aluk Todolo adalah agama leluhur nenek moyang suku Toraja yang hingga saat ini masih dipraktekkan oleh sejumlah besar masyarakat Toraja. Bahkan pada tahun 1970, Aluk Todolo sudah dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu (Hinda-Toraja). 

prosesi dalam ritual aluk todolo

Aluk Sanda Pitunna (aluk 7777)Pitung sa'bu mpitu ratu' mpitung pulo mpitu lise'na,disebarkan oleh Tangdilino' dan merupakan sistem religi yang diyakini oleh orang Toraja sebagai aluk yang diturunkan dari langit bersama-sama dengan umat manusia. Oleh karena itu, Aluk Sanda Pitunna adalah aluk tertua dan menyebar secara luas di Toraja. Sementara itu, Aluk Sanda Saratu' datang kemudian dan disebarkan oleh Puang Tamborolangi', namun Aluk Sanda Saratu' hanya berkembang didaerah Tallu Lembangna (Makale, Sangalla dan Mengkendek). 

Aluk Sanda Pitunna bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara (aluk), larangan (pemali), kebenaran umum (sangka') dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Aluk sendiri meliputi upacara yang terdiri atas tiga pucuk dan empat tumbuni (aluk tallu lolona, a'pa' pentaunina). Disebut tiga aIuk karena ia meliputi upacara yang menyangkut manusia (aluk tau), upacara yang menyangkut tanam-tanaman (aluk tananan) dan upacara yang menyangkut binatang (aluk patuan) dan dikatakan empat oleh karena di samping ketiga hal di atas ada lagi satu upacara yang disebut upacara suru' berfungsi untuk menembus kesalahan (pengkalossoran).

Wilayah barat
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "to unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata.

Wilayah timur
Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suke dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun goodbye kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.

Wilayah tengah
Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan". Sesuai dengan makna dan kandungan yang terdapat di dalam sistem kepercayaan Aluk Todolo, terdapat sejumlah hal yang relevan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Jika ditelusuri jejak referensi adanya konsep pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup bagi orang Toraja, ditemukan bahwa pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup bagi orang Toraja, pertama diatur dalam sistem religi yang ada dan hal itu meliputi hampir seluruh ritus yang dilaksanakan.

Seperti yang telah dibahas diatas bahwa sebelum kedatangan Tomanurun – Tomanurun di Toraja, telah ada sebuah kepercayaan yang telah di pegang dan dijadikan pegangan hidup masyarakat Toraja yaitu Aluk Sanda Pitunna yang di ciptakan oleh Ma'dika Tangdilino' dan Pong Sulo Ara' yang merupakan Aluk yang bersumber dari Sukaran Aluk yang masih dipegang teguh oleh Pong Sulo Ara'. Dimana Aluk Sanda Pitunna dikembangkan dan dibina berdasarkan 3 (tiga ) Lesoan aluk pada masing – masing Daerah adat Besar yaitu Daerah adat di Ambe'i, Daerah Adat di Puangngi, dan Daerah Adat di Ma'dikai.mencipkan ajaran baru

Menurut sejarah toraja setelah 150 tahun sesudah tersebarnya aluk sanda pitunna datang gerombolan Penguasa baru yang dikenal dengan Zaman datangnya Tomanurun – Tomanurun di Toraja. Dari beberapa Tomanurun ini salah satu yang sangat dikenal dalam sejarah Toraja yaitu Puang Tomanurun Tamboro Langi' yang datang di daerah padang dipuangngi. Tomanurun Tamboro Langi' dikenal sebagai pencipta dari aluk sanda saratu' yang disebarkan di daerah adat Padang diPuangngi.
Aluk Sanda Saratu' merupakan tambahan dari Aluk Sanda Pitunna yang telah ada terlebih dahulu dan berkembang di masyarakat Toraja. Di dalam aluk sanda saratu' dari Puang Tomanurun Tamboro Langi' yang banyak menjadi ketentuan – ketentuan ialah tentang bagaimana kedudukan Puang Tomanurun dan turunannya dalam masyarakat. Baik penguasa adat maupun sebagai pemegang aluk sanda saratu' yang menempatkan turunan Puang Tomanurun dimuliakan didalam masyarakat.

Inilah yang menjadi perbedaan menonjol diantara ketiga daerah adat besar di Toraja dimana daerah padang di Puangngi yang melaksanakan aluk sanda saratu' banyak merubah soal pergaulan masyarakat dan susunan pemerintahan yang sudah diletakkan dan diatur sebelumnya oleh Aluk Sanda Pitunna. Sedangkan daerah adat Padang di Ambe'I dan Padang dima'dikai tidak melaksanakan ajaran Aluk Sanda Saratu' yang berdasarkan Monarchi agama.

Setelah Aluk Sanda Saratu' perkembang baik di Daerah Adat Padang di Puangngi maka susunan masyarakat di daerah adat padang dibuangngi berubah dari dasar kesatuan, kekeluargaan, dan kegotong – royongan dari dasar Aluk sanda Pitunna berubah menjadi susunan masyarakat yang berbentuk kesatuan yang Marchistik yang berdasarkan Aluk sanda Saratu'.

Namun tidah semua daerah adat Padang dipuangngi yang melaksanakan dan menerima ajaran aluk sanda saratu' ini karena daerah bagian Utara dari padang dipuangngi yaitu daerah Kesu' dan sekitarnya. Menyebabkan daerah adatpadang dipuangngi terbagi 2(dua) yaitu :

Daerah adat padang dipuangngi bagian selatan melaksanakan aluk sanda saratu' disamping itu masih tetap melaksanakan aluk sanda pitunna.

Daerah adat padang dipuangngi bagian utara yaitu daerah Kesu' dan sekitarnya tidak melaksanakan aluk sanda saratu' dan melaksanakan Aluk Sanda Pitunna sepenuhnya. 

Karena daerah Kesu' dan sekitarnya yang merupakan Daerah bagian Utara dari daerah adat pdang dipuangngi tidak melaksanakan aluk sanda saratu' maka daerah tersebut memisahkan diri dari daerah adat padang diPuangngi dengan masyarakat yang tetap berbentuk Kesatuan, kekeluargaan, dan kegotong – royongan sesuai dengan ajaran Aluk Sanda Pitunna. Dan dengan memisahkan diri dari daerah adat padang diPuangngi maka daerah kesu' dan sekitarnya tidak lagi memakai gelar Puang sebagai gelar untuk Penguasa – Penguasa adatnya, tatetapi memakai Gelar Sokkong Bayu sebagai Gelar untuk Penguasa – Penguasa adat. Sokkong Bayu artinya Pemikil Beban yang terbesar dari masyarakat ( Sokkong = Kuduk, Bayu = Baju )

Dengan tersebarnya aluk sanda saratu' di daerah Bagian selatan padang di Puangngi maka daerah bagian utara memisahkan diri karna tidak melaksanakan ajaran aluk sanda saratu' namun berdasarkan pembagian Dasar Lesoan Aluk yang telah di tetapkan sebelumnya Menurut ajaran Aluk Sanda Pitunna dari Tongkonan Banua Puan Marinding, daerah padang dipuangngi baik daerah bagian selatan maupun utara masih tetap berlaku yaitu Lesoan Aluk Tananan Bua' Pemala' Tedong Sereala.

Dalam perkembangan masyarakat didaerah bagian utara daerah adat padang dipuangngi yaitu kesu' dan sekitaranya kemudian termasuk dalam kelompok adat Balimbing kalua' dan sekarang ini sudah termasuk dalam daerah adat Padang di Ambe'i karena dalam pembinaan masyarakat dan pemerintahan sama dengan adat padang di Ambe'i namun dasar Lesoan aluk Daerah kesu dan sekitarnya masi tetap melaksanakan Lesoan Aluk Tananan Bua' Pemala' Tedong Sereala yang merupakan lesoan aluk padang di Puangngi.

Sejak terpisahnya daerah adat padang diPuangngi bagian utara yaitu kesu' dan sekitaranya maka dengan resmi terbentuklah daerah adat padang dipuangngi yang mempergunakan ajaran aluk sanda pitunna dengan tambahan ajaran aluk sanda saratu'. Yang sampai sekarang dikenal dengan kelompok adat Padang diPuangngi Tallu Lembangna ( Tallu = Tiga = Lembangna = Pemerintahan sendiri ) dan kelompok adat Padang di Puangngi Tallu Batu Papan.

Dengan terbentuknya daerah adat padang di Puangngi yang bagian selatan dengan Aluk Sanda Saratu'. Maka Pusat penyebaran Aluk Sanda Pitunna beralih dari Tongkonan Banua Puan di Marinding ke Kesu' dengan Nama Panta'nakan Lolo ( Panta'nakan = Persemaian, Lolo = Muda, Pertama, Kuncup ) karena tongkonan banua puan di Marinding sudah termasuk dalam daerah Penguasa – Penguasa Aluk Sanda Saratu'.

tribute to

SANGTORAYAN CHANNEL YOUTUBE

Basa Dukai temai senga'na e